Sumber : Jurnalis warpol.id Purwakarta | Editor : Syahidin
Purwakarta, warpol.id || Di bawah terik mentari Purwakarta yang tak kenal ampun, sebuah gubuk reyot berdiri tegar, atau lebih tepatnya, bertahan di atas sebidang tanah sempit. Didalamnya, Fikri (14), remaja dengan mata yang menyimpan mimpi-mimpi besar, menatap masa depannya yang terasa begitu suram.
Rumahnya, rumah yang pernah menjadi tempat berteduh bagi keluarganya, kini hanya tinggal kenangan. Penggusuran telah merenggut lebih dari sekadar tempat tinggal; ia telah merenggut harapan.
"Gubuk darurat itu, dibangun seadanya dari sisa-sisa kayu dan seng bekas, menjadi saksi bisu perjuangan hidup Fikri bersama nenek dan kakeknya, Emis (52). Rumah mereka, di Tegaljunti, Purwakarta, yang berdiri di atas tanah negara yang dikelola Perum Jasa Tirta (PJT) II Jatiluhur, telah rata dengan tanah."
Kini, mereka hanya bisa mengandalkan belas kasih pemilik lahan untuk menumpang hidup di tempat yang jauh dari kata layak.
Suara lirih Emis, nenek Fikri, masih bergema di telinga. "Kami bingung harus ke mana," katanya, suaranya bergetar menahan beban hidup yang begitu berat.
Bayangan rumah yang telah hilang, dan ketidakpastian masa depan, terukir jelas di wajahnya yang penuh keriput. Keriput-keriput itu tak hanya menceritakan usia, tetapi juga beban hidup yang terus menghimpit.
Lebih pilu lagi, mimpi Fikri untuk melanjutkan pendidikan terancam kandas. Ditengah keterbatasan ekonomi yang mencekik, biaya sekolah menjadi beban yang tak mampu dipikul. "Untuk makan saja susah, apalagi buat sekolah," ujar Emis, suaranya semakin lemah. Pandangannya yang kosong seakan menggambarkan betapa putus asanya ia menghadapi kenyataan pahit ini.
Fikri, yang sejak bayi telah dibesarkan oleh nenek dan kakeknya, menanggung beban yang tak sepantasnya dipikul oleh seorang remaja. Kedua orang tuanya, yang juga hidup dalam kesusahan ekonomi, tak mampu memberikan bantuan. Mimpi-mimpi Fikri, yang seharusnya dipenuhi dengan semangat belajar dan bermain, kini terkubur dalam bayang-bayang kemiskinan dan ketidakpastian.
"Di balik kesederhanaan gubuk itu, tersimpan sebuah kisah yang menyayat hati. Kisah tentang penggusuran yang bukan hanya merenggut tempat tinggal, tetapi juga masa depan seorang anak. Kisah tentang impian yang terancam sirna karena keterbatasan ekonomi.Kisah tentang keluarga yang berjuang keras untuk bertahan hidup."
Di tengah kepiluan itu, seberkas harapan masih menyala. Harapan akan uluran tangan dari pemerintah daerah dan pihak terkait. Harapan akan bantuan yang dapat membantu Fikri melanjutkan pendidikannya dan membangun masa depannya. "Kami tidak minta apa-apa," kata Emis, suaranya penuh harap, "cuma ingin Fikri bisa sekolah dan punya masa depan." Harapan sederhana itu, harapan yang layak untuk diwujudkan. (Dd.R-St)
Posting Komentar